Hello stranger!
Lying Lying Lying
(Michelle Garcia)*
I used to write about him
endlessly
in tattered journal pages
and in cheesy poems
but i didn't want to admit it
I didn't want to admit
that i wasn't in love-
that instead, i was cold and lonely
for endless summer nights
So this is me finally admitting it-
this is my apology letter
for blindly lying to myself,
for believing the miserable lie
that writing about him
would bring us back to life
Because so far it hasn't worked
and i'm undeniably sick
of lying to myself
and ignorantly believing it will
Aku menyukai perjalanan. Kali ini aku baru menyelesaikan liburanku di Surabaya. Kota selanjutnya yang akan menjadi destinasiku adalah Jakarta. Masih berlibur. Kali ini aku memilih kereta api. Bersamanya melakukan perjalanan dari Stasiun Pasar Turi menuju Stasiun Gambir.
Senja menjemput petang. Aku sangat lelah setelah seharian berwisata kuliner bersama temanku di Surabaya. Hal ini sukses membuatku sangat malas meladeni orang-orang iseng di stasiun yang mengajakku bicara. Terlalu malas pula untuk mengeluarkan suara di kasir saat membayar sekaleng susu yang kubeli. Yang kulakukan hanya tersenyum dan mengangguk. Setidaknya aku tidak ingin membagi moodku yang sedang buruk ini pada orang lain. Aku hanya ingin segera tidur di kereta.
Yah, beginilah aku. Aku suka bersosial. Namun pada waktu tertentu aku sangat diam. Bahkan cuek dan tertutup. Mungkin ini disebut semi-introvert. Haha. Whatever.
Aku merogoh sling bag kecilku dan meraih ponsel. Membuka aplikasi yang menyimpan kode pemesanan tiket keretaku. Aku berdiri di belakang dua orang yang mengantre untuk melakukan check-in mandiri. Barisan lain lebih panjang. Ah, aku beruntung. Oh, ternyata tidak. Kulihat kakek-kakek yang berdiri paling depan di barisanku sedari tadi mengutak-atik komputer namun tak kunjung selesai. Mungkinkah beliau mengalami kesulitan? Pandanganku mencari sosok petugas stasiun di area ini, namun mereka terlalu sibuk karena padatnya penumpang di akhir pekan pada akhir tahun.
Menyadari hal tersebut, seorang laki-laki berpostur tinggi yang mengenakan polo shirt hitam di depanku menawarkan bantuan pada si kakek. Sebut saja dia Polo. Dengan sabar Polo menjelaskan dan mempraktikkan cara mencetak boarding pass. Tak mau terlalu bergantung pada orang lain, si kakek rupanya lancar saat giliran mencetak lembar kedua dan ketiga. Beliau mengucapkan terima kasih, lalu berbalik dan tersenyum pada sesuatu di belakangku. Rupanya istri dan cucunya. Polo pun ikut berbalik. Namun ia justru menatapku. Beberapa detik kami bertatapan. Lalu ia tersenyum. Aku membalasnya.
Aku menelusuri gerbong empat mencari-cari nomor kursiku dan segera merapikan barang bawaan. Setelah semua beres, akhirnya aku mendapati posisi nyaman dan siap untuk bobok cantik. Haha. Good night everyone!
"Hai mbak." suara dari samping membuyarkan ketenanganku.
What again, Lord? Gerutuku dalam hati sambil membuka mata dan menoleh ke samping. "Ya?"
Ia tersenyum lebar. Sumringah malah. Kemudian tertawa kecil.
"Kita tadi ketemu di check-in mandiri." jelasnya melihat tampangku yang bertanya-tanya. Masih dengan tersenyum.
"Ahhhh, haha iya ya." aku ikut tertawa seolah ini kabar bahagia. Padahal biasa aja. And dude, please, aku mau tidur.
"Mau kemana?"
"Jakarta."
"Wah. Samaan."
Nggak nanyak.
"Turun di Gambir?"
"Iya."
"Jakartanya mana?"
"Jakarta Selatan." aku mencoba tak terlalu terbuka pada orang asing. Dan semoga Ini pertanyaan terakhir.
"Asli Surabaya?"
Great! Polo ini memang sengaja mengajakku ngobrol. Apakah dia tak menyadari bahwa sedari tadi aku tak berminat dengan percakapan ini?!
"Ya." aku terlalu malas menjawab jujur karena jika aku mengatakannya, akan muncul runtutan pertanyaan menyebalkan seolah aku harus membongkar kehidupanku. Maka aku memilih menjawab ya dengan harapan dapat mengakhiri obrolan.
"Aku main ke Surabaya karena ada perjalanan bisnis. Ini mau pulang Jakarta, tahun baruan sama keluarga."
...
"Ngomong-ngomong mbaknya Surabaya mana?"
Kenapa kamu banyak nanya sih. Pengen nangis deh gara-gara ngantuk tapi diganggu terus.
"Sana." sambil kutunjuk sembarang arah.
"Dimana?"
"Di sana pokoknya."
"Ohh, deket stasiun pasar turi berarti?"
"Ya. Ha. Ha." aku tersenyum kecut.
"Haha. Tapi kalopun mbak sebut nama tempat juga aku kurang begitu tau Surabaya."
...
"Aku asli Jakarta mbak. Tau nggak rumahku dimana?"
Hah? Mana aku tau?! "Enggak."
"Rumahku di Jakarta Pusat, deket rumah sakit."
"Ohh"
"Dari rumahku ada jalan pintas ke rumah sakit loh mbak. Cepet. Dijamin langsung nyampe. Mau tau nggak?"
"Gimana?" tanyaku tanpa antusias.
"Dari rumahku lurus aja arah jalan raya. Ntar ketemu traffic light, terus trobos aja. Kalo ketabrak, ntar bakal langsung dijemput dan diantar ambulan ke rumah sakitnya. Asik kan jalan pintasnya. Haha"
Aku benar-benar kehabisan kata. Receh banget ini bercandanya. Tapi tanpa sadar aku ikut tertawa. Hingga suasana cair dan kantukku mulai memudar.
Akhirnya kami larut dalam percakapan saling mengenal. Aku yang terlanjur berbohong tentang kota asalku terpaksa membuat kebohongan lagi untuk meluruskannya. Ini sungguh menyebalkan karena aku harus berpikir cepat untuk mengarang cerita. Tapi aku tak bisa berhenti berbicara dengannya. Dia selalu bertanya dan menyimpulkan sendiri tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Yasudahlah, toh ini orang asing. Kami tak akan memiliki urusan lagi satu sama lain.
Dia menyodorkan ponsel miliknya. Memintaku menuliskan nomor kontak yang bisa dihubungi. Aku diam dan tersenyum. Tanda penolakan halusku.
Ia memperkenalkan diri setelah sekian lama kami ngobrol. Lee Dong Wook. Ah, Jadi namanya Lee Dong Wook. Usianya selisih tiga tahun lebih tua dariku.
"Aku Fina. Salam kenal."
Ini ketiga kalinya ia menanyakan nomor kontakku. Yasudahlah, aku memberinya—aku bisa saja nanti mengabaikannya, ya kan, hehe.
Ponselku berdering. Telepon masuk dari nomor tak dikenal.
"Itu nomorku." katanya.
Kemudian kami berbicara banyak hal lagi. Entahlah, dia tak membuatku bosan.
Beberapa jam kemudian, saat waktu hampir memasuki puncak gelapnya, aku pamit tidur. Akhirnya.
Zzzz
Aku tak sengaja terbangun. Aku lupa memberi kabar temanku di Jakarta bahwa aku sudah di kereta dan memintanya bersiap menjemputku esok pagi.
Dengan menahan kantuk dan mata setengah terbuka, aku tap sebuah nomor dan meneleponnya.
Tuut. Tuut. Dering ketiga diangkat.
"Halo?" suaranya terdengar agak berat. Ah, mungkin temanku ini terbangun dari tidurnya. Sebut saja dia Sunny. Di rumah Sunny lah aku berencana menginap.
"Hai Sun, gue udah di kereta ini otw jakarta. Besok pagi nyampe sekitar jam enem, jemput ya."
"Hmm."
"Bisa kan? Capek banget ini gue. Males aja nyari taksi. Percuma sih kan gue nggak hafal jalan ke rumah lu juga."
"Ok."
"Nah gitu dong. Tapi kok suara lu jadi agak macho gitu ya sekarang. Haha." Lalu aku mengganti suaraku dengan sedikit berbisik, "Btw besok lu mesti dengerin cerita gue ketemu cowok kece yang duduk di sebelah gue di kereta. Haha. Gokil emang itu orang. Meski awalnya rada nyebelin sih. Abis dia kepo banget, nanya-nanya mulu. Mana suka cerita sendiri padahal gue nggak nanya. Pengen gue rempeyek aja dia. Haha." ceritaku menggambarkan Lee Dong Wook dengan menguap menahan kantuk, "Tapi kesan pertama gue ngerasa kalo dia orangnya baik. Dan ternyata asik dan kocak juga. Gue yang sebelumnya ngantuk berat jadi nyaman gitu ngobrol sama dia. Yaudah ya gue mau lanjut tidur. Dahh."
Aku mendengar suara diseberang telepon ini tertawa kecil dengan mengucap pelan, "Cute."
Kemudian aku tertidur lagi. Pulas. Hingga subuh tiba.
"Na, udah subuh. Kamu sholat nggak?" suara lembut Lee Dong Wook membangunkanku. Lalu aku bergegas menuju toilet. Setengah sadar, aku ingat dia memanggilku na. Woah, dia adalah orang pertama yang memanggilku dengan bagian akhir dari namaku. Biasanya orang-orang akan memanggilku fin. Tapi kenapa aku ngerasa dia jadi sok akrab gini ya?
Sesampainya di Gambir.
Aku turun dari kereta masih bersama Lee Dong Wook. Entah dia mengikutiku atau memang kami memilih pintu keluar yang sama.
Aku mengecek ponsel bermaksud menelepon Sunny. Lima pesan masuk dari Sunny. Namun ada yang membuatku mengernyitkan alis cukup lama. Hingga aku tersadar. OH LORD! WHAT THE FOOD IS THIS GOING! HOW COULD THIS HAPPEN! Panggilan keluar teratas yang kulakukan semalam ternyata bukan ke nomor Sunny. Melainkan ke nomor Lee Dong Wook. Ah ini akibat aku tak pernah menyimpan nomor kontak dengan dalih hafal nomor belakang dan bisa cek melalui history chat.
Sontak membuatku keringat dingin. Apa saja yang kukatakan semalam? Ini memalukan. Sangat memalukan hingga aku ingin menghilang saat ini juga. Siapapun please culik akuu.
Aku memperlambat langkah untuk menghindari Lee Dong Wook. Percuma. Lalu aku mempercepat langkah. Percuma. Aku menyerah.
"Kenapa sih, Na?"
Aku membuka mulut namun tak bisa berkata-kata. Aku ingin meminta maaf namun tak tahu harus memulai darimana.
"Aku anterin kamu sampe rumah temen kamu ya. Aku cukup tau Daerah Jakarta Selatan kok. Kamu telpon aja dia minta kasih arahan." katanya santai.
Aku menahan nafas. "Maaf mas, semalem aku ngantuk jadi salah telpon. Mana ngomongnya ngelantur lagi. Maaf ya mas." kataku dengan muka memelas. Kembali bernafas.
"Haha. Semangat banget gitu ngomongnya masa ngelantur. Hahaha. Ada-ada aja sih kamu mah. Udah yuk ke parkiran ya, naik mobil aku."
"Ini aku mau minta jemput temen aku aja mas. Bukannya rumah mas nya di Jakarta Pusat? Kalo nganter aku ke selatan malah bolak-balik ntar mas nya capek. Aku nggak enak." aku beneran malu dan berusaha buat segera berpisah dengan Lee Dong Wook.
"Temen kamu belom jemput kan? Dari selatan ke sini paling nggak setengah jam. Itu pun kalo nggak macet. Udah bareng aku aja. Gak papa kali. Itung-itung ini buat permintamaafan kamu semalem abis ngomongin aku. Hahaha."
Aku tak berkutik. Semoga setelah ini kita nggak ketemu lagi ya. Hiks.
Lee Dong Wook membantuku memasukkan koper ke bagasi. Lalu aku bermaksud meletakkan ransel ku di kursi tengah. Namun bajuku tersangkut jepitan. Sehingga butuh cukup waktu untuk melepasnya.
"Kamu ngapain duduk disitu? Di depan aja sini di samping aku. Emangnya ini taksi? Haha."
"Eh? Hehe. Aku disini aja nggak papa mas." kataku menahan malu. Lagi. Kenapa aku melakukan banyak hal memalukan dengannyaaa.
Akhirnya bajuku tak tersangkut lagi dan aku duduk di depan di samping Lee Dong Wook. Ia bercerita tentang ucapanku semalam dengan tawanya yang tak kunjung henti. Aku sesekali ikut tertawa seolah ini lucu.
Sesampainya di rumah Sunny, aku berterima kasih pada Lee Dong Wook. Dia mengatakan, "See you next time." Sedangkan aku, "Bye."
Seminggu setelah itu kami masih aktif melakukan kontak. Namun semua ini tak bisa kuteruskan. Aku tak boleh memperpanjang dan memperkeruh keadaan. Aku tak boleh berlama-lama seperti ini dengannya.
Ini semua salahku. Akhirnya aku mendapatkan akibat dari kecerobohanku sendiri. Keangkuhanku. Dan ketidakacuhanku. Sejak awal aku membohonginya. Aku bahkan membuat kebohongan lagi untuk menyempurnakan kebohongan awal. Aku terlanjur meng-iya-kan setiap kali dia menyimpulkan sesuatu tentangku.
Dan sekarang aku ingin kami lebih dekat. Aku mulai menaruh harapan padanya. Oh Lord, this is not good. Aku baru mengakuinya.
Aku tak hanya berbohong padanya. Aku juga berbohong pada diri sendiri bahwa selama ini aku ingin kami tetap sebagai dua orang asing yang kebetulan hanya melakukan basa basi perjalanan.
Namun kini, aku... ah apa yang harus kulakukan? Bukankah kita tak bisa memulai suatu hubungan baik dengan kebohongan?
Let’s go back to the beginning, when we were just two strangers.
Don’t know each other.
And stop there.
(Rahne Putri)**
Beberapa bulan kemudian.
Aku menapaki anak tangga menuju lantai dua Stasiun Gambir. Aku sering melakukan perjalanan dengan kereta sejak itu. Entahlah. Aku hanya merasa lebih hangat. Masih jelas ingatan bersamanya disini. Semua hal memalukan yang kulakukan di depannya. Pertemuan singkat yang menjungkirbalikkan hidupku.
Kini aku tak akan berbohong lagi. Karena kita tak pernah tahu dengan siapa kita berbicara. Dan pada siapa kita ditakdirkan.
Aku patah hati atas kesalahan yang kubuat sendiri. Aku patah hati pada sebuah hubungan yang bahkan belum aku mulai. Aku patah hati pada orang asing.
Sudahlah. Aku berdosa dua kali padanya. Pertama berbohong dan kedua menghilang begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin melupakan ‘kita’. Meski kereta masih selalu membawamu dalam pikiranku. Meski Jakarta selalu mengingatkanku tentangmu. Dan masih ada yang berdesir di dada saat mendengar namamu.
Disini, kembali
kau hadirkan ingatan yang seharusnya kulupakan
Dan kuhancurkan adanya
Letih disini
kuingin hilang ingatan
(Rocket Rockers – Ingin Hilang Ingatan)***
__________ Keterangan:
* Puisi oleh Michelle Garcia dalam hellopoetry.com
** Kutipan oleh Rahne Putri dalam rahneputri.com
*** Lirik lagu berjudul Ingin Hilang Ingatan oleh Rocket Rockers