Senin, 07 Maret 2011

Cerpen Keluarga

Mimpiku Lebih Tinggi daripada Langit


(aku ingin bertemu denganmu, aku ingin melihatmu walau hanya dari belakang, aku akan tetap mengagumimu walau kau tak menginginkan keberadaanku)


Saat aku berusia 2 tahun, aku sempat berpikir bahwa seorang ibu adalah orang yang paling baik sedunia, dan setiap anak memiliki ibu. Apakah wanita yang tinggal serumah denganku ini adalah ibuku?
Aku pun tumbuh dewasa. Kekuranganku semakin terlihat karena secara fisik aku seperti anak laki – laki yang habis pangkas rambut. Ya, inilah aku. Gadis kecil tanpa nama, dan tanpa rambut di kepala. Aku tak pernah bebicara dengan ibuku. Yang aku tahu ibuku setiap malam menangis di kamarnya dengan menyebutku seperti anjing. Dan sehari – hari dia serasa hidup sendirian. Seakan – akan tak ada aku disini.
Suatu hari, seorang pria tampan dan rapi datang ke rumah. Dia melamar ibuku. Dia adalah orang pertama yang mengajakku bicara. Setidakknya selama hidup 4 tahun ini aku pernah mencoba bersuara namun ibu melarangku.
“Hai adik kecil... kenapa diam saja?” tanyanya sambil tersenyum dan mencubit pipiku. Terlihat dari garis wajahnya, dia adalah orang yang baik. Sama sekali tak mempedulikan bagian kepalaku.
Dengan kasar tiba – tiba ibu menyeretku masuk kamar. Aku mendengar suara dari luar bertanya sesuatu yang aku pikir tentang aku. Aku tak mendengar dengan jelas.
Beberapa hari berlalu dan ibuku dinyatakan hamil. Setahun kemudian aku resmi dipanggil kakak. Namun itu hanya istilah. Kenyataannya, bayi itulah yang menjadi “anak pertama”. Dan baru kali ini aku melihat ibu tersenyum. Bukan padaku. Tapi pada bayi itu.


Inilah pertama kali aku diajak keluar rumah oleh ibuku. Hanya berdua. Kami berhenti di suatu tempat yang agak ramai. Perkampungan kumuh yang ramai teriakkan anak kecil seusiaku. Kami memasuki sebuah rumah mewah. Lalu ibuku menyuruh untuk menunggu karena dia akan ke belakang sebentar. “Sebentar.” Katanya. Dan aku menurut. Saat itu aku belum tahu arti “sebentar”. Selama apapun, aku akan tetap menunggu. Karena dia ibuku. 
Aku merasa hari semakin gelap. Namun aku tak juga menjumpai ibu. Mataku perih. Inikah rasanya ditinggal? Kemudian air mataku jatuh. Aku menangis. 
Ada seorang nenek – nenek yang melihatku. Dia berjalan mendekat. 
“Ibumu dimana?” 
Aku tetap menangis. 
“Ayok masuk dulu sini di rumah nenek. Nanti kita cari ibumu.” 
1 hari, 2 hari, 3 minggu, ibu tak juga kembali. Aku tak tahu nama ibuku. Aku hanya mengingat wajahnya. Aku belum bisa berbicara. Dan kini itu bukanlah modal yang cukup untuk menemukan ibu. 
Secara tidak resmi, aku menjadi cucu dari nenek baik hati itu. Aku diberi nama Nadia. Dia mempunyai anak. Aku memanggilnya tante Shila. Dia tak begitu menyukaiku. Namun aku tak kesepian karena ada nenek yang menyayangiku. 
Aku disekolahkan mulai TK hingga sekarang, SMA. Ya. memakai beasiswa. Walaupun nenek selalu mengatakan bahwa aku tak perlu repot – repot mencari uang untuk sekolah karena nenek bersedia mananggungnya. Meskipun sejak kecil ibuku tak pernah mengajarkanku tentang etika, sejak tinggal bersama nenek aku tumbuh sebagai gadis yang tahu aturan. Bisa dibilang nenek adalah orang serba berkecukupan karena gaji pensiunan almarhum suaminya cukup banyak. Apalagi setelah Tante Shila menikah dan ia tinggal bersama suaminya, yang tinggal di rumah hanyalah aku dan nenek. 
Semua kebutuhanku terpenuhi, mulai dari makan sehari – hari hingga peralatan elektronik. Pernah suatu hari nenek mengajakku ke dokter untuk memeriksa kepalaku mengapa tidak ada rambut yang tumbuh, namun aku menolaknya. Biarlah aku tetap begini. Karena dengan fisik seperti inilah aku bisa menemukan ibu. 
Kini aku memakai jilbab, alasan sepenuhnya bukan untuk mentupi kekurangan fisikku, melainkan untuk menutup aurat dan bertaqwa kepada Tuhan. 
Pernah suatu hari aku berdebat hebat dengan tante Shila. Saat itu aku mengajak jalan – jalan nenek di pasar. Kami melihat – lihat barang – barang antik. Macam – macam makanan dan minuman dijual disana. Suasana begitu ramai. Apalagi saat itu hari libur. Aku dan nenek bersenang – senang. Kami bertemu dengan penjual baju – baju unik. Benar – benar sangat unik. Jika dilihat sekilas, yang nampak tidak seperti baju, melainkan gantungan – gantungan kain. Mungkin jika aku adalah turis mancanegara, aku akan mengira itu adalah souvenir khas daerah ini. 
Aku dan nenek berhenti di sebuah warung kecil. Warung itu menjual makanan sederhana seperti gule, rawon, sayur lodeh, dan lain – lain. Matahari sudah mecapai titik paling panas di daerah khatulistiwa. Aku manawarkan makan siang pada nenek. Namun nenek berkata bahwa lebih baik makan di rumah saja. Aku tetap memaksa. Aku ingin menghabiskan siang ini bersama orang yang telah membesarkanku. Dan akhirnya nenek tak punya alasan lagi untuk menolak. 
Aku memesan 2 porsi gule kambing dan 2 gelas es teh. Nenek menurut saja. Terlihat jelas pada raut wajahnya seakan ada sesuatu yang dia sembunyikan. 
“Nenek kenapa?” 
“Tidak.” Kata nenek sambil tersenyum. 
Kami memakan gule kambing itu dengan lahap. Ya, aku lapar sekali. Begitu pula dengan nenek. Pasti lebih lelah dibanding aku yang jauh lebih muda darinya. 
Selesai makan, aku dan nenek kembali ke rumah. Nenek mengaku agak pusing, kemudian dia masuk kamar dan tidur. 
Besok adalah hari Senin, hari dimana semua mata pelajaran pasti ada tugasnya. Dan kabar baiknya, aku belum menyelesaikan semua. 
Terdengar dering handphone ku. 

Tgs mtk dikumpulin kapan?
Sender: 0856xxxxxxxx



Besok lah...
Sent to: 0856xxxxxxxx


Uda ngerjain? Paket halaman brp seh? Gue lupa nyatet..
Sender: 0856xxxxxxxx


Ni baru mo ngerjaen. Hal.34 no.1-25
Sent to: 0856xxxxxxxx


Ngerjaen bareng yuk? Gue ke rumah loe skrg ya?
Sender: 0856xxxxxxxx


Ok.. gue tggu...
Sent to: 0856xxxxxxxx 

Beberapa menit kemudian Vella, temanku yang barusan sms aku, datang. Aku mengajaknya masuk ke kamar. Vella adalah DJ terkenal di sekolah. Dia adalah sahabatku. Dia menegtahui kisahku sejak lahir hingga sekarang. Dan beruntungnya, dia tidak malu berteman denganku. 
“Loe ada Sound gede kan? Nge-play lagu ya?” kata Vella. 
“Katanya mau ngerjaen tugas?” seruku. 
“Ya udah kita kerjaen dulu. Tpi boleh kan ntar gue nyalain? Kuping gue gatel kalo nggak denger musik. Hahah...” kata Vella sambil tertawa. 
Sekitar 1 jam kemudian kami selesai mengerjakan tugas membingungkan itu. Bab trigonometri yang membuat rambut – rambut ilmuwan menjadi rontok. Haha.. itulah istilahku. Entah kenyataan atau tidak aku tak peduli. 
Vella langsung menyalakan laptop dan memutar lagu favoritnya. Dejavu. Volume dimaksimalkan sehingga aku sendiri tidak bisa mendengar suaraku. Untungnya kamarku sudah difasilitasi pengedap suara. Terdengar sayup – sayup seperti suara nenek yang memanggilku. Namun aku menghapus pikiran tersebut karena aku tahu nenek sedang tidur dan tidurnya nenek pasti tidak sebentar. 
Beberapa menit kemudian ada suara seperti sesuatu yang terjatuh dan ada pula sesuatu yang pecah. Aku langsung menghentikan lagu Vella dan keluar kamar. Tak ada apa apa. Itulah yang aku lihat. Kemudian aku menuju kamar nenek. Kosong. Aku panik. Aku menuju tangga. Aku terkejut ketika mendapati nenek tergeletak diam di lantai bawah. 
“Neneeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek” teriakku. 
--- 
Aku terdiam. Aku tetunduk. Aku hanya memikirkan bagaimana keadaan nenek. Tante Shila datang. Tanpa memandang ke arah ruang UGD, tante langsung menarikku dan membanting badanku ke tembok. 
“Apa yang kau lakukan pada ibuku?” bentaknya. Pihak rumah sakit yang melihat adegan tersebut langsung menangkan tante. Aku dibawa menjauh dari tante. Mereka tahu pasti pikiranku dan tante sedang tidak jernih dan selimuti oleh emosi. Dan emosi tidak menyelesaikan permasalahan. 
Beberapa menit kemudian dokter berkata bahwa tekanan darah nenek meninggi. Sejak lama memang nenek memiliki tekanan darah tinggi. Bodohnya, aku tidak tahu hal sepenting itu. Aku teringat pada gule kambing yang aku dan nenek makan tadi siang. Selain itu, ada retakan di tengkorak nenek. Dugaan sementara adalah karena nenek terjatuh dari tangga. Aku down. Aku lebih pantas meninggalkan nenek karena aku seperti orang yang tak tahu terima kasih. 
Sesampainya di rumah... 
“Kesabaranku ada batasanya. Sejak awal aku sudah menduga bahwa menerimamu di rumah ini bukanlah ide yang baik! Kau adalah anak cacat yang sengaja dibuang oleh ibumu karena keberadaanmu hanyalah membuat orang lain sial!!!!!!” seru tante Shila. 
Aku yang baru datang dari rumah sakit, masuk rumah langsung disemprot hinaan itu. 
“Maaf.” jawabku singkat. Lalu tiba – tiba tamparan panas mendarat di pipiku. Aku menerimanya karena hal itu masih termasuk kecil dibanding tindakanku pada nenek. 
“Cuma maaf katamu? Apakah selain tak memiliki rambut kau juga tak memiliki kemampuan berbicara?” nada tante meninggi. Aku tak kuat menahan kata – kata itu. Namun aku mencoba diam. 
“Masih tak ingin bicara? Apa yang sebenarnya ada di kepalamu itu Nad? Apa kau tidak sungkan merepotakan ibuku selama 12 tahun ini? Apakah kau tidak berinisiatif untuk pergi dari sini? Apa ini yang dijarkan ibumu sebelum kau dibuang kemari? Ibumu adalah wanita terbodoh karena ia masih membiarkanmu hidup!!!!!!” 
“Cukuuuuuuuup!!!” aku tak mampu menahannya. Karena kini yang disalahkan bukan hanya aku, melainkan juga ibuku. “Hentikan tante! Kalau memang itu yang tante inginkan, aku akan melaksanakannya, tapi kumohon jangan pernah lagi tante mengatakan 1 hal apa pun tentang ibu saya! Tante tidak tahu apa – apa!” 
“Lalu tunggu apa lagi? Kenapa tidak langsung pergi?” 
“Nadia akan pergi stelah ada kepastian kabar tentang keadaan nenek. Setidaknya Nadia ingin melihat nenek membuka mata. Setelah itu, nadia akan pergi dan Nadia janji, tante dan nenek tidak akan melihat Nadia lagi.” Kataku pelan. Aku sendiri terkejut tentang apa barusan kukatakan. Jika memang aku akan pergi, mau kemanakah aku? 
--- 
Beberapa hari kemudian nenek resmi dinyatakan sembuh dan boleh pulang, dokter memberi catatan makan apa saja yang tidak boleh dikonsumsi banyak oleh nenek. Yang lebih penting adalah, aku telah melihat nenek membuka mata. Jadi, sudah waktunya untuk aku meninggalkan tempat ini. 
Tanpa nenek ketahui, aku telah meninggalkan rumah. Kini aku persis seperti gelandangan yang tidak memiliki tujuan. Aku hanya membawa beberapa stel baju dan handphone. Aku menganggap barang – barang ini adalah barang pinjaman yang suatu saat nanti harus kukembalikan. 
--- 
Beberapa hari telah berlalu. Aku tinggal bersama Vella, sahabatku. Aku tetap bersekolah di sekolahku yang dulu. Pernah suatu ketika aku melihat nenek di sekolahku. Sepertinya nenek sedang mencariku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk pindah sekolah. Aku bekerja sebagai pengantar koran di sebuah perumahan mewah setiap dini hari. Aku juga menjual pulsa elektrik. Mudah memang, karena tidak menyita waktu namun kadang aku jengkel karena banyak teman – temanku yang berhutang sampai berminggu – minggu. Malamnya, aku bekerja sebagai penjaga warnet. Semua ku lakukan untuk biaya sekolah dan tabungan. Tabunganku adalah untuk melunasi hutangku pada nenek dan modalku untuk menemukan ibu. 
Setiap hari belajar dan terus belajar. Aku bukan siswa terpandai di sekolah. Tapi aku juga bukan siswa yang bodoh. Aku jarang sekali menghabiskan malam minggu dengan teman – teman seusiaku. Bisa dibilang aku adalah anak kuper saat itu. Karena otakku hanya terisi oleh pelajaran dan pekerjaan. Pernah suatu sore seorang lelaki tampan mengajakku berkenalan. Karena aku terlalu polos, aku mau saja diajaknya jalan – jalan. Untungnya aku berhasil lari karena saat itu dia mengajakku tidur bersama. 
Dan sejak saat itu, aku benar – benar brprinsip bahwa tak ada lelaki yang baik. Namun aku salah ketika aku bertemu dengan saudara Vella, Renno. Dia baik padaku. Bahkan dia mengajariku matematika, kimia, dan fisika. Pelajaran yang membuatku pusing degan beribu – ribu bintang bernari – nari diatas kepalaku. 
Suatu ketika Vella memberi tahuku bahwa nenek ingin sekali bertemu denganku. Aku tetap pada keteguhanku. Aku sudah berjanji pada tante untuk tidak akan menampakkan batang hidungku pada keluarga tersebut. 
Hingga suatu hari, Vella memberiku sepucuk surat tanpa nama pengrim. 

Sudah bertahun – tahun kita tak bertemu. Aku merindukanmu. Tulus dari palung hati, aku menyesal telah meninggalkanmu saat itu. Dan kini saat aku ingin kau kembali padaku, aku bahkan tidak tahu lagi dimana keberadaanmu. Ini semua salahku. Aku terlalu egois untuk disebut sebagai orang tua. Aku sangat berterima kasih apada seorang nenek yang katanya dia telah merawatmu sampai sekarang. Namun kesedihanku bertambah karena kini aku benar – benar tidak tahu apa – apa tentang dirimu. Padahal kau dalah darah dagingku. Wajahmu pasti lebih cantik dan dewasa dibanding saat kau berusia 4 tahun. Apakah kau disana masih mengingatku? Masih adakah perasaan sayangmu padaku? Dan apakah aku masih berhak dan ada kesempatan bertemu denganmu, anakku?

Aku berpikir, mungkinkah ini ibu? Dari mana Vella mendapatkan surat ini? Aku pun baru sempat membalasnya 1 bulan kemudian. Aku terlalu sibuk dengan sekolah, pekerjaan, dan pikiranku apakah benar si pengirim surat tersebut benar ibuku. 

Apakah kau ibuku?

Hanya itu yang kutulis dalam 1 lembar kertas balasan. Aku tak mampu berkata apa – apa karena baru membaca saja aku sudah menangis. Beberapa hari kemudian aku mendapatkan surat balasan. 

Alhamdulillah kau masih hidup... aku bahagia sekali. Nadia, nama yang cantik untukmu. Aku ibumu nak... ibu kandungmu. Aku lah wanita hina yang tega membiarkanmu hidup menderita selama ini. Ku mohon...ijinkanlah aku mengajakmu kembali ke rumah. Disini rumahmu nak... kau berhak atas ini. Jika memang kau tak bersedia, 1 hal yang kuminta terakhir darimu, aku ingin bertemu denganmu.

Air mataku mengalir. Tahukah ibu? Mimpiku selama ini adalah menemukanmu dan memelukmu. Itulah yang aku inginkan. Dulu, jangankan ibu mau memelukku, melihatku saja ibu seakan tidak sudi. Dan kini jalan terbuka lebar antara kita. Aku tak akan menyia – nyiakan kesempatan ini. Ibu, tunggu aku... 

Kita bertemu di depan rumah nenek. Rabu, 2 Februari 2011 jam 4 sore.

Sepulang sekolah, aku menyempatkan membeli bunga. Ya, untuk ibu. Untuk seseorang yang ingin kutemui sore ini. Aku menyiapkan semua uang tabunganku untuk melunasi hutangku pada nenek. Aku melakukan semua dengan semaksiamal mungkin karena hari ini adalah hari yang ku tunggu – tunggu sejak 13 tahun yang lalu. 
Semua sudah siap. Aku memakai sepatu terbaikku. Baju terbaikku. Dan jilbab terbaikku. Aku berjalan menelusuri jalan setapak. Kemudian aku naik bajaj. Suara bising perkotaan ditambah knalpot bajaj yang memekikkan telinga tak jadi masalah. Seakan semua bercampur menjadi suatu musik yang indah mengiri pertemuanku dengan ibuku, dan nenek. 
Sesampainya didepan rumah nenek. Aku terdiam. Aku teringat memori tahun lalu ketika aku masih di sana. Aku tersenyum. Semua seperti dalam sinetron – sinetron dengan aku sebagai tokoh utamanya. Aku tak melihat ada wanita disini. Ach... nungkin ibu masuk ke dalam rumah nenek. Pikirku. Aku pun menyebrang jalan untuk menuju rumah indah tersebut. Kemudian datang suara berat seorang wanita setengah baya yang memanggilku. 
“Nadia?” katanya. 
Aku menoleh. Diakah ibuku? Aku merasa tubuhku kaku. Ya. Dia ibuku. Dia melambaikan kedua tangannya padaku. Aku ingin membalas dengan senyum namun terlambat karena telingaku mendengar suara klakson yang semakin keras. Kemudian semuanya gelap. 
--- 
Apakah ini surga? Kudengar seseorang menerikkan namaku. Nadia. Suara itu seperti pernah kudengar. Tiba – tiba aku merasa tubuhku perih. Aku membuka mata. Dia. Dia ibuku. Dia memelukku. 
“Aku ibu nak...” katanya dengan suara parau dan tangisan tersedu – sedu. 
Aku tersenyum kemudian aku berusaha mengucapan kata – kata, “Aaaku.. sayang ibu. Laa ilaha illallah...” kemudian mataku memaksa tertutup. Aku pun tak dapat merasakan lagi apa yang ada di sekitarku. Ya Tuhan... terima kash telah membuat mimpiku menjadi nyata. Aku bahagia.